Cerpen Dewasa Terhangat

Cerita Tante Girang Terbaru

Thursday, January 20, 2011

Cerpen Dewasa Terbaru 20 Jan 2011

Cerpen Dewasa Ini  ini adalah share atau kisah nyata dari seseorang yang tidak ingin identitasnya di buka, dia menyesal telah melakukan pemerkosaan yang dilakukan terhadap wanita baik-baik cewek berjilbab, akibat sering melihat foto telanjang dan gambar-gambar cewek bugil, cewek berjilbab itu diperkosa.


foto cewek jilbab bugil
Lihat Photo Jilbab di sini
foto cewek jilbab bugil di http://cerita17tahun.mobi
Annisa terbangun. Gadis berjilbab itu terbaring di lantai sebuah ruangan dengan dada di bawah. Ia mencoba bergerak. Ia baru sadar bahwa tangannya terborgol ke belakang punggung. Ia mencoba berteriak, namun mulutnya ternyata disumpal dengan bola golf dan dilakban. Rasa takut mulai menjalari sekujur tubuhnya.

Ia berusaha mengingat kembali bagaimana ia bisa sampai berada di ruangan itu. Tadi siang ia sedang mengendarai sepeda motornya saat sebuah mini van memepetnya dari samping. Ia terjatuh. Tubuhnya terseret beberapa meter. Aspal yang panas diterjang matahari menggores tubuhnya yang mulus. Telapak tangan dan lututnya lecet. Beberapa pria turun dari mini van itu dan menghampirinya.

“Tidak apa-apa Mbak Annisa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Gak papa” jawabnya.

Ia bertanya-tanya di dalam hati “Bagaimana laki-laki itu bisa mengetahui namanya, padahal ia belum parnah berjumpa dengannya sebelumnya?”
Annisa mencoba berdiri. Salah seorang laki-laki yang berada di dekatnya meninju ulu hati gadis berjilbab itu.

“Uuuggghhh…” lenguh Annisa.
“Apa-apaan ini?!” ia memprotes.

Seseorang memelintir kedua tangan Annisa ke atas punggungnya.

“Aduh. Sakiiiittt…”

Laki-laki lain membekap hidung dan mulut Annisa dengan sapu tangan yang telah dibasuh dengan cairan pembius.

Kembali ke kamar tempat Annisa disekap… Setelah hampir satu jam lamanya sejak ia terbangun, barulah ia mendengar suara kunci pintu kamar itu dibuka. Ia melihat ke arah pintu itu. Seorang, dua orang, hingga seluruhnya tujuh laki-laki masuk ke dalam kamar itu.

“Oh, rupanya sudah terbangun mangsa kita ini.” ujar salah seorang dari ketujuh laki-laki itu.

Ketujuh laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Dari mulut mereka tercium bau alkohol. Mereka mendekati tubuh Annisa yang terbaring kaku di lantai. Mereka balik tubuh gadis berjilbab itu sehingga kini punggungnya yang menghadap ke lantai. Lakban di mulutnya dibuka.

“Apa-apaan ini? Siapa kalian? Di mana saya?” tanya Annisa dengan panik.
“Kamu ada di vila saya yang terletak di tempat terpencil. Vila lain yang terdekat dari sini jaraknya tiga kilometer. Kamu berteriak sekeras kerasnya untuk minta tolongpun percuma.” jawab pimpinan kelompok itu.

“Kami sudah memperhatikan kamu sejak lama. Kami tahu kebiasaanmu. Sekarang kamu akan menjadi budak pemuas nafsu kami”

Pakaian Annisa direnggut dengan kasar.

“Tidaaakkk!!! Lepaskan saya!”

Sekarang yang tinggal hanya jilbab dan kaos kaki. Pimpinan kelompok itu segera memasukkan batang kejantanannya ke dalam vagina Annisa yang masih perawan. Sekali sodok, batang itu masuk seluruhnya.

“Ooogghhh…aaaaarrrghhhh. ..”

Laki-laki lain memasukkan penisnya ke dalam mulut Annisa. Kini, yang terdengar hanya erangan-erangan tak jelas. Sisanya meremasi dan mencubiti tubuh Annisa. Tubuh gadis itu mengejang sejadi-jadinya.

Sang pemimpin kelompok akhirnya memuntahkan spermanya ke dalam rahim Annisa. Setelah itu, dikeluarkannya batang penisnya dari lubang kenikmatan cewek berjilbab itu. Sperma dan darah keperawanan Annisa meleleh dari lubang itu.
Mulut Annisa masih digarap saat laki-laki lain memasukkan penisnya ke vagina Annisa lagi.

“Uuuhhh…nikmaaaatttt…” ujar laki-laki yang mulai menggagahinya.

Sisa-sisa keperawanan Annisa masih ia rasakan menjepit dan memijat penisnya. Tidak berapa lama kemudian, laki-laki yang memperkosa mulut gadis itu pun mengalami ejakulasi. Dengan kedua tangannya ia menahan kepala Annisa.

“Telan Sayang. Telan semua benihku.”

Annisa merasa mual. Ia ingin muntah, namun mulutnya masih disumpal oleh batang yang makin lama makin mengecil itu. Terpaksalah ia menelan cairan putih kental itu.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan kemaluannya. Dari pinggir mulut Annisa, menetes sisa sperma. Posisi laki-laki itu digantikan oleh pria lain yang sudah menunggu dari tadi. Begitu pula laki-laki yang saat ini sedang menggempur vagina gadis berjilbab itu. Saat ia telah mencapai puncak kepuasannya, orang lain mengisi lubang yang ia tinggalkan.

Anus gadis berjilbab itu pun tidak ketinggalan. Lubang pembuangan kotoran itu diperkosa berulang kali oleh ketujuh laki-laki itu hingga Annisa pingsan.

Hari sudah malam saat Annisa tersadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa sakit semua, khususnya vagina dan anusnya. Air mata mengalir membasahi pipinya. Bau dan rasa sperma para pemerkosanya masih terasa di mulutnya. Sisa sperma yang membanjiri vagina dan anusnya terasa lengket.

Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa pergi dari rumah itu. Ia sadar bahwa sepanjang sisa hidupnya ia harus melayani nafsu para pemerkosa itu hingga ia mati.

Namun salah satu dari pelaku akhirnya sadar dan berusaha melepaskan anisa, dengan usaha itu akhirnya berakhir sudah penderitaan dari anisa yang diperkosa dengan brutal dan dari cerita ini sang pelaku berpesan agar bisa diambil pelajaran tidak dengan mudah menuruti hawa nafsu, karena akan membawa bencana pada diri anda sendiri.

Sekian.

Thursday, January 13, 2011

Cerpen Dewasa Terbaru 2011 - Aku bersama Abg yang mantap

Baca cerita di mobile di http://ceritaseks.prohost.mobi Ayohh tutup pintunya, bisik Liza, dengan terengah dan mendesah.
Lihat Cewek Disini
Aku segera bergegas, menutup pintu dengan tangan kanan, sementara jemari tangan kiriku sibuk mencoba mengeluarkan dua lembar bulu bawah Liza dari rongga mulutku, sebagai hasil pemanasan berupa cunnilingus.
Gila juga. Kami bercumbu di kantor. Liza, tepatnya Ibu Liza Permatasari (nama samaran), yang oleh kalangan dekatnya dipanggil sebagai Sari, adalah bossku. Di kantor kecil ini lelaki cuma aku dan pesuruh. Satpam cukup dari pengelola kompleks ruko. Lima belas staf lainnya adalah cewek, lajang semua.
Malam telah merambat. Saat ini sudah pukul 20.45. Liza membatalkan kepulangannya.
“Kamu gila. Udah basah dan nikmat gini masa harus pulang. Belum tuntas nih”, katanya, ketika aku menggodanya, sambil memainkan clit-nya, dan berpura-pura mengingatkan bahwa hari sudah malam, kemacetan sudah berkurang.
Maka kalimat susulan yang terlontar dari mulut mungilnya adalah permintaan untuk menutup pintu. Artinya, sekalian mengunci pintu. Para staff sudah pulang. Office boy sudah pulang. Pintu front office di lantai bawah sudah dikunci. Lampu yang menyala cuma dikurangi.
Kini kuhampiri Liza (tanpa panggilan “Ibu”, karena ini acara intim, bukan dinas) yang masih mengangkangkan kedua kakinya di sofa dekat meja kerjanya. Pakaiannya masih utuh. Blazernya masih terpakai, tapi seluruh kancing blus sudah terbuka, dan bra pembungkus bukit kembar 36B sudah tidak menyangga isi, hanya menggantung di atas bukit. Rok mini sudah tersingkap paling atas, melingkar tergulung di pinggangnya.
Celana dalam? Oh, segitiga mungil berenda itu berada di lutut kanan Liza. Liza yang mengangkang, alangkah seksi-nya! Paha dan perut putih mulus itu melingkungi segitiga lebat keriting, yang memayungi labia majora dan minora merah basah. Basah karena lelehan kelenjar bertholin dari vaginanya, dan juga karena cairan salivaku. Clit-nya yang berdiameter 1 cm dan panjang 3 cm tampak mengeras. Inilah pesona lajang kesepian, seorang wanita karir berusia 35 tahun.
Mungkin ini peristiwa ke-15 dalam hubungan kami, yakni percumbuan di kantornya. Aku bisa bisa bilang begitu, karena seminggu dua kali kami petting, Rabu dan Jumat, dan hal itu sudah berlangsung hampir 3 bulan, tentu saja tersela oleh kalender palang merah, bukan?
Aku kembali membungkuk, atau mungkin bersila. Mulutku tanpa permisi langsung menyergap vagina segar dan clitoris menegang itu. Labianya kurentangkan dengan jari, lalu lidahku kutembuskan ke liang, bergerak kanan-kiri-atas-bawah, memutar-mutar.
“Auuwww…”, desah Liza tertahan. Aku semakin nakal. Satu jariku masuk ke liang, maju-mundur, berputar-putar. “Kamu gilaa…”, desahnya.
Itu tak cukup. Kini jempolku ganti masuk liang vaginanya, sementara ujung jempolku melesak ke lubang duburnya, yang sebelumnya sudah aku olesi dengan cairan vagina agar sedikit licin. “Gilaa!” teriaknya. Semoga satpam tak mendengar. Liza segera meraih kepalaku, untuk dia benamkan ke pusat kewanitaannya. Aku gelagapan, susah bernafas. Tapi dia tak peduli. Pinggulnya bergerak liar, agar vulva lajangnya bisa mengerjai seluruh mukaku. Akhirnya aku kehabisan nafas. “Lizaa aahh….”, desahku, sambil mundur menjauhkan kepala dan mukaku yang basah oleh hajaran vaginanya.
“Jangan panggil aku Liza. Saat ini aku bukan bossmu. Panggil aku Sari saja”, desisnya. Muka, leher, dan dadanya mulai berkilat oleh peluh. Ternyata AC tak mampu membendung keringat si lajang yang sedang direbus oleh birahi. Aku sendiri merasa gerah. Lalu aku raih remote control AC di meja, aku turunin suhunya. Sari terpejam-pejam, terengah-engah. Tidak seperti biasanya, kali ini dia belum orgasme oleh oral dan jariku. Selama ini kami bercumbu tanpa penetrasi penis. Setelah dia klimaks, biasanya giliranku untuk menguras muatanku, dengan mengocok sendiri, yang kemudian aku tumpahkan ke lembaran tissu yang aku ambil dari meja Sari.
“Terserah kamu, pokoknya aku mau puas total”, desah Sari, masih dengan mengangkang di sofa. Aku berdiri di depannya. Dengan terburu kulepas bajuku. Dasi sudah sejak tadi tercampakan ke karpet. Lalu kulepas pantalonku. Dengan kilat celana dalamku pun lepas. Tapi ah…, masih ada yang mengganjal. Maka sepatu pantofelku itu seperti aku tendangkan, tergeletak ke bawah mejanya. Kaos kakiku pun dengan segera terlepas, dan tercampak entah ke mana. Kini aku bugil di depanya dengan penis teracung ke atas. Liza melihat penisku terus. Selama ini dia hanya memandang. Belum pernah memegang. Maka ketika aku mengocok penisku pada setiap akhir percumbuan dia seperti menikmati pria telanjang dari jarak dekat.
Sebuah pemandangan yang kontras. Aku sudah bugil, dia masih tergolek mengangkang di sofa dengan pakaian yang lengkap, meski acak-acakan. Aku semakin mendekatinya. Dia terbelalak, ketika sadar penisku sudah sekian cm dari mukanya. Sudah kepalang tanggung. Birahiku sudah mendidih. Sekian lama hanya menahan diri. Lantas kusorongkan penisku ke wajahnya, mengenai pipi. Lalu kena hidungnya, matanya, keningnya, lalu bibirnya yang kini terkatup rapat. “Sari, gantian dong”, bisikku meminta.
Dia buka sedikit mulutnya. Ujung penisku melesak masuk sekitar dua cm. Terasa mulut yang hangat. Ketika mulut ternganga sedikit, penisku kudorongkan. “Blep!” masuklah separuh penis ke mulut si cantik langsing yang mirip artis Yenny Farida di masa mudanya itu. Dengan cepat dia menyesuaikan diri agar tak tersedak. Lantas naluri kewanitaannya pun bekerja. Dia menjilati penisku. Mulanya dengan posisi menyamping, penisku terpalang horizontal di mulutnya, seperti sate yang akan disantap. Kemudian posisi menjulur, ’senjata terkokang’ itu dijilat dan dihisap seperti es lolly. Oh nikmat dan bahagianya.
Ternyata sambil melakukan jilatan di vaginanya, tangan kiri Sari mengusap-usap vaginanya sendiri. Ketika dia berhenti sejenak dalam meng-oral, jemari kiri yang mengkilat oleh cairan vagina itu dia hisap dan jilat. Begitu berulangkali. Akhirnya aku tidak tahan. Kalau menuruti nafsu, keinginku sih biar muncrat dan tumpah sekalian seluruh maniku ke mulut dan wajahnya. Akan tetapi dia kan belum puas. Kasihan.
Maka kucabut penisku dari genggaman tangan serta hisapan dan jilatan mulutnya. Tapi ah…, dua atau tiga tetes maniku telanjur keluar, langsung menetes di lidahnya. Dengan sigap dia tarik lidah itu, dan tampaknya dia mencicipi rasa benda yang baru dikenal dalam hidupnya, cairan sperma. Untunglah aku bisa menahan diri. Kucekik penisku dengan jempol dan telunjukku, agar mani tak membanjir, sekaligus agar batangku tetap ereksi.
Kami sama-sama mengambil nafas. Lantas kuhampiri Sari, kupeluk, kugendong, lalu kurebahkan di meja kerjanya yang luas. Dengan lembut dan pelan kuciumi lehernya, sementara tanganku melepas blazer, blus, dan branya. Payudara putih bersih nan kenyal, dengan puting kemerahan yang mengeras, alangkah indahnya. Kucium dan jilati kedua bukit itu berikut puncaknya. Kunikmati aroma khas yang memancar dari lipatan bawah payudaranya agak kecut tapi merangsang.
Bossku itu seolah tak merasakan kerasnya meja kerjanya yang berkaca. Dia terus merem-melek, meleguh, terengah, mendesis. Apalagi ketika aku menciumi dan menjilati ketiaknya yang licin bersih. Ketiak wangi yang mulai bercampur keringat. Oh.., indahnya. Oh…, merangsangnya. Sementara itu tangan kananku merenggut rok mini itu, sehingga dia kini telanjang bulat, sedikit kedinginan oleh semburan hawa AC. Kuraba vulva itu. Bulu kemaluan yang lebat, rimbun, dan hangat itu rupanya telah sedikit mengering oleh hembusan AC. Begitupun bibir vaginanya. Namun clitorisnya masih mengeras. Ketika kupijat lembut clitorisnya, Sari melenguh, “Aouhh…”
Kini mulutku menjelajahi pusar dan perutnya. Sari mengaduh-aduh. Tanganku mengambil buku telepon, kuganjalkan ke pantatnya. Dengan lidah terjulur kudekatkan mulutku ke vaginanya, tanpa menempel, lalu berhenti. Aku diam saja. Sari tak sabar. “Terlalu! Kamu terlalu. Ayoh aku udah kebelet nih”, dia seperti berteriak. Kedua tangannya merenggangkan vulva selebar-lebarnya, sementara kakinya mengangkang lurus menyamping seperti gadis plastik sirkus.
Aku melihat sebuah demonstrasi otot vagina yang dahsyat! Tangan Sari sudah tidak menjereng vaginanya. Tapi kakinya masih kangkang lurus menyamping. Astaga! Vagina itu bergerak-gerak, kembang kempis, menggembung mengerut. Dinding vagina nan merah seolah mau melotot keluar, untuk kemudian mengerut sehingga dinding merah mengkilat itu tersembunyi sebagian.
Sedangkan clitorisnya tetap mengeras seperti teracung, menagih jilatan. Aku jadi semakin gila. Kusosor vagina itu. Kumainkan mulut dan lidahku, menggarap bibir vagina dan clitoris. Kujejalkan lidahku ke liang hangat saat membuka diri. Wuhh…, banjir cairan vagina menyembur, aku jilati liang vaginanya yang merupakan sumber dari cairan itu. Rasanya asin. Aku ingin menguras cairan lajang yang 7 tahun lebih tua dariku itu. Kedua tanganku merentangkan kakinya, lalu aku meng-oral vaginanya habis-habisan. Akhirnya Sari berteriak tertahan, “Aku sampe puncak!”. Dia menjambak rambutku, membenamkan wajahku ke vaginanya, sehingga aku gelagapan dan hampir tersedak oleh banjirnya cairan vaginanya.
Aku pun kian bernafsu. Kugendong Sari, kupindahkan ke selembar karpet tambahan yang menyerupai bulu kambing, di atas karpet dasar, di pinggir sofa.
“Ibu Liz, Liza, Sari…, aku nggak tahan. Kalo aku memperkosa kamu gimana?”, tanyaku, menahan nafsu sambil berposisi seperti menindih, tapi tubuhku tak menempel di tubuhnya karena tanganku masih menyangga badanku.
“Nggak usah memperkosa segala. Malam ini kita bisa bersetubuh, sayang”, katanya sambil meraih bahuku.
Oh pucuk di cinta, vagina mendamba, clitoris menagih. Kucium keningnya, matanya, hidungnya. Tapi pantatku masih seperti mengambang di atas tubuhnya, sehingga penisku pun menggantung menganggur, belum menyentuh kewanitaannya. Akhirnya aku pun capai. Pantatku turun. Sari langsung mengangkang. Tapi ah, tidak, tidak. Aku mau main-main dulu. Ini kan persetubuhan pertama kami. Maka penisku kini cuma kugesek-gesekan ke bulu kemaluan, clitoris, dan vaginanya. Dia terpejam nikmat. “Gilaa, aku sukaa”, bisiknya. Lama-kelamaan kurasakan gesekan penisku seperti mengenai bidang licin. Rupanya cairan vaginanya belum habis, terus membanjir. Hilang sudah rasa permukaan bibir vagina yang merangsang penisku. Sementara gesekan bulu kemaluan pun semakin licin karena bulu superlebat yang membentuk segitiga, menyerupai celana dalam, itupun sudah basah.
Aku beringsut. Kuambil blus silk Sari. Kuusapkan ke vaginanya untuk mengeringkan cairan. Dia sendiri pun tak peduli blus bagus itu buat mengepel vagina. Kini vagina itu mengering. Aku menindihnya tapi masih bertumpu pada tangan kananku. Sementara tangan kiriku memegang penis, untuk dimainkan di vaginanya. Dia melenguh nikmat. Tapi lama-lama aku capai juga. Oh Sari yang cantik. Dia akhirnya punya inisiatif. Dibiarkannya aku menindihnya, tapi kini giliran tangannya yang memegang penisku.
“Pakai buat masturbasi Liza Sari sayang”, bisikku.
Wow! Nikmatnya penis dipegang jemari lentik dan dipakai untuk onani vagina. Aku merasa terbang menumpang concorde. Hampir tak ingat apa-apa, ketika tiba-tiba kurasakan “Blessszzhh…” Penisku sudahg masuk. Lancar sekali, meski dalam jepitan, karena vaginanya memang licin.
“Kamu pikir aku tahan? Nggak. Aku udah birahi banget. Lima tahun nggak bersetubuh setelah putus pacaran. Tiga bulan cuma petting. Sekarang kepalang basah. Kita bersetubuh saja”, bisiknya.
Kubenamkan penisku dalam vagina yang menjepit itu. Aku diam saja. Pinggul Sari di bawah berputar-putar, naik turun, maju mundur, geser kanan-kiri. Aku merasa termanjakan. Sampai akhirnya kurasakan maniku mulai mendidih, seperti ruap soda dalam botol yang dikocok. Aku beringas. Kupompa vaginanya dengan penisku. Kutekan selangkangannya dengan bagian bawah tubuhku. Kuputar pinggulku.
“Sari, kita hitung yuk. Kita hitung sampe 10 lalu puncak bareng ya?”, bisikku.
“Sepuluh, seratus, seribu, sama saja. Aku sudah memasuki pintu klimaks…”
“Satu, dua, tigaa…”, aku menghitung.
“Empaattt, Limaa burung, enam spermaa….”, lanjutnya dengan terengah.
“Tujuh itil, delapan jembut….”, aku menimpali.
“Sembilann… Auwwwwww! Aku climaks! Gila! Mana manimu! Ayo dong cepetan! Udah lima tahun vaginaku nganggur nggak ngerasain sosokan burung dan semprotan mani!”.
Inilah keajaiban. Tiba-tiba maniku seperti tertahan, tapi penisku kian mengeras, sampai kulit penis ini agak perih, mungkin lecet sedikit. Kupompa vagina Sari dalam orgasmenya. Kurasakan vaginanya menyempit sementara cairan hangat kurasakan menyembur dari celah liang yang terjejali oleh penis. Terdengar suara “prepettt…” Aku tidak tahu, cairan ini dari vagina atau dari lubang kencingnya.
Akhirnya, tubuhnya mengejang. Matanya terbelalak, lalu terpejam, dan dia pun memelukku erat. Kudengar isak tertahan. “Aku nikmat. Aku lega. Aku bahagia”, bisiknya. Air mata membasahi kelopaknya. Kucabut penisku. Masih tegang. Aku juga ingin orgasme. Tapi aku kasihan kalau harus menyetubuhi dia terus. Pasti vaginanya capai. Atau malah lecet. Karena barusan tadi kurasakan bulu kemaluan ikut masuk ke liangnya, bersama penisku. Mungkin bulu kemaluannya. Karena setiap kali kami bercumbu, bulu kemaluannya banyak yang rontok.
Aku berdiri di sampingnya. Kukocok penisku. Pelan, pelan, lalu cepat, cepat, cepat, akhirnya ah…, tak tahan. Aku pejamkan mataku, sambil mengocok penis. “Blap!” kurasakan penisku masuk lubang, yang ada giginya. Ya! Kubuka mataku. Penisku masuk ke mulutnya. Kulepaskan genggamanku. Dia sudah bersimpuh di depanku, mengulum penis, tangannya mulai mengocok penisku, terkadang lidahnya menjilati.
“Awas Sari, nanti muncrat ke mulut lho!”, aku memperingatkan.
“Biarin. Ini untuk pertama kalinya aku minum isi burung”, katanya menantang.
“Oh ya?”, tanyaku.
“Iya. Ayo, kuras manimu, pejantanku!”, ajaknya.
Kini aku kocok sendiri penisku. Ketika titik didih sudah mendekat, genggamanku aku lepas. Tangan Sari segera menyambar. Dengan lima kocokan maniku pun muncrat. Crat! Crat! Crat! Craatt! Mulutnya telat mengantisipasi, mungkin karena belum pengalaman. Dalam sepersekian detik maniku menyembur pipinya, hidungnya, keningnya, lehernya, lalu, “Slep!”, penisku masuk ke mulutnya dengan mani terus membanjir. Dalam kulumannya penisku terus dia kocok. Lama-lama aku gemetar dalam lautan nikmat. Aku terduduk. Penisku tercabut dari mulutnya. Kulihat si cantik ini mukanya berlepotan cairan putih kental. Bibirnya berleleran sperma. Dia belum terampil menelan semua sperma, sehingga ada sisa yang tumpah keluar. Yang pasti dia tampak semakin cantik. Mungkin aku pun jadi mencintainya.
“Terima kasih bossku sayang. Ini bukan yang terakhir kan?”, tanyaku sambil mengusap rambutnya.
“Tentu…, Kamu mau sama aku meski aku lebih tua?”, jawabnya dengan mesra.
“Iya. Aku menyayangimu. Aku pingin mengeksplorasi semua pesona kewanitaanmu”, kataku.
“Masih banyak waktu. Lain kali kamu ke studio apartemenku. Apa yang akan kamu lakukan kepadaku Sabtu malam besok?”.
“Aku ingin mencoba anusmu, bossku sayang…”
Aduh! Diam mencubit lenganku, lalu pahaku, lalu penisku.
“Sakittttt boss!” kataku.
Dia tak mempedulikan. Setelah cubitannya lepas, dia pun bangkit, lalu membungkuk dengan menghadapkan pantat ke wajahku, yang masih terduduk di karpet dengan kaki terjulur, sambil kedua tanganku menyangga tubuhku. Jemarinya merentang anus yang merah dan dikitari bulu halus lurus yang panjang.
“Anusku masih perawan. Boleh juga sih kita coba Sabtu besok”, katanya.
Tiba-tiba pemandangan gelap. Kurasakan bau aneh, khas, tapi sedap. Astaga! Anus yang terentang jari itu sudah menempel ke hidungku. Awas, anus itu nanti menerima pembalasanku, dengan elusan penis dan tetesan maniku, sementara jariku bermain di clitoris dan vulvanya. Tunggu saatnya tiba, boss cantikku!